Oleh: Darmayasa
Gurur agnir dvijatinam
varnānāṁ brāhmaṇo guruḥ
patireva guruḥ strīnām
sarvasyābhyagato guruḥ
(Cāṇakya Nītiśāstra, V.1)
“Gururagnir dvijātīnām”, bagi sang dvijati atau orang-orang yang sudah diinisiasi, orang yang sudah didiksa menjadi pendeta, bagi mereka Agni adalah guru. “Varṇānāṁ brāhmaṇa guruḥ”, bagi mereka yang menempatkan diri dalam varṇa āśrama maka brāhmaṇa adalah guru. “Patireva guruḥ strīṇām”, bagi sang istri, suami adalah guru. “Sarvasyābhyagato guruḥ” dan sang tamu adalah guru bagi semuanya.
Agni adalah guru bagi para dvijati artinya bahwa sang pendeta bukanlah seorang yang hidup tanpa guru. Guru baginya adalah Agni (api). Di dalam Kitab Suci Veda pun Agni diterima sebagai guru.
Kita bisa melihat kalau tidak di dalam setiap agama ternyata sebagian besar agama dan kepercayaan memakai Agni/api sebelum mereka memulai sembahyangnya. Ketika saya berada di India, seorang teman Muslim bernama Mr Ahmed memberikan penjelasan bahwa mereka pun memakai api yang dinamakan “chirag”. Tetapi Islam lebih mengutamakan air, Sang Apah, yaitu air suci Zamzam dan wudhu. Umat Kristiani memakai lilin, sedangkan umat Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu memakai hio/Dupa dan lampu suci Jyoti (r).
Agni adalah api dan Agni adalah guru. Di dalam Veda kita akan menjumpai banyak mantram tentang Agni sehingga kelihatannya Agni menjadi dominan di dalam mantram-mantram Veda. Oleh karena itulah Agni didalam Veda dinamakan guru. Khususnya para pendeta hendaknya memberikan perhatiannya pada hal ini, bahwa Agni adalah guru bagi mereka.
Dalam tradisi persembahyangan Veda, kita akan menjumpai bahwa segala upacara, sembahyang, puja arcana, dhyana, sadhana dan lain-lain semua pasti dimulai dengan Agni/api. Misalnya mereka menyalakan dupa dan lampu dipa (yang di beberapa tempat dan kesempatan dengan alasan praktis diganti dengan lilin). Lebih besar lagi mereka memakai Agni Hotra untuk menyelesaikan segala jenis upacara. Setiap sembahyang/puja arcana, selalu ditutup dengan proses yang dinamakan “Arati”, yaitu mempersembahkan api suci kepada yang disembah diiringi dengan pujian mantra, kirtanam, bhajanam atau kekidungan.
Di pusat Meditasi Parama Dhama, guru adalah Agni sebagai Dhuna (bara api suci), sebagai perwujudan Tuhan yang Maha Esa dan beliaulah Guru. Itu berarti Tuhan adalah Beliau yang hendaknya kita jadikan Guru karena memang Guru Sejati itu adalah Tuhan.
Seorang pendeta hendaknya jangan hanya mengajarkan orang. Hendaknya jangan hanya menjadi guru. Ia harus berguru dan guru baginya adalah Tuhan yang Maha Esa. Dengan menjadikan Tuhan sebagai guru maka ia akan menjadi semakin mantap dalam kependetaannya dan ia akan lebih layak menjadi guru bagi masyarakat kebanyakan.
Bagi pendeta kebanyakan, khususnya “pendeta smarta” (pendeta yang mengutamakan upacara), mereka pada umumnya melakukan kewajiban Agni Hotra setiap hari dua kali, pagi dan sore. Mereka dengan tekun serta disiplin ketat mempraktikkan Agni Hotra pagi dan sore. Memang, saya pernah mempraktikkannya beberapa lama, Agni Hotra pagi dan sore. Sangat menyenangkan. Hidup terasa sangat indah dan nyaman.
Perumpamaan bahwa guru bagi para pendeta adalah Agni sering menunjukkan bahwa para pendeta hendaknya dengan tekun mempraktikkan Agni Hotra dua kali sehari dalam aturan ketat kependetaan dvijati.
Memang menjadi keharusan untuk melaksanakan kewajiban Agni Hotra dua kali setiap hari. Jika mereka tidak berhasil memenuhi kewajiban dua kali sehari melaksanakan Agni Hotra maka mereka dipandang sebagai bukan dvijati atau dvijati yang telah jatuh dari kewajiban dvijati-nya.
Kesimpulan dari baris pertama sloka di atas adalah bahwa seorang pendeta hendaknya telah berhasil menempatkan Tuhan sebagai gurunya. Pagi, siang, malam, buka mata, tutup mata, kemana saja dan sedang melakukan apa saja hendaknya ia selalu bersama Tuhan sebagai gurunya. Kalau tidak, jika para pendeta tidak memakai Tuhan sebagai gurunya, maka segala keinginan duniawinya akan berlomba-lomba berusaha menjadi gurunya. Ia akan terombang-ambingkan hidupnya untuk berguru kepada keinginan-keinginan duniawinya. Ketika loba yang menjadi gurunya maka ia akan memanfaatkan kependetaannya untuk “berdagang” dalam kependetaannya. Ia akan menjual setiap ceramah, pengajaran yoga, meditasi, doa atau upacara yang dilakukannya. Dan karena kelobaan yang berhasil menjadi gurunya maka ia akan mengalami peningkatan volume kehausan keinginan duniawi yang semakin membesar dan jatuhlah ia dari kependetaannya.
Pilihan pendeta untuk menerima Tuhan sebagai guru adalah pilihan “compulsary choise”, atau pilihan keharusan untuk tetap berada didalam kependetaannya.
Selanjutnya, “varṇānāṁ brāhmaṇo guruḥ”, bahwa bagi mereka yang berada dalam golongan varṇa (bukan kasta) maka guru bagi mereka adalah para brāhmaṇa (pendeta). Varṇa yang dimaksudkan di sini adalah kṣatria, vaiśya, dan śūdra. Ketiga golongan varṇa tersebut hendaknya berguru kepada brāhmaṇa/pendeta. Kalau tidak maka mereka pasti akan mengalami kejatuhan dari varṇa masing-masing.
Kṣatria yaitu para pengendali pemerintahan, polisi, tentara dan lain-lain, mereka hendaknya berguru pada pendeta/brāhmaṇa/iman/ustad/maulana/bhiksu/bante dan lain-lain. Mereka hendaknya dengan penuh ketundukan hati menerima bimbingan dan tuntunan dari beliau-beliau tersebut. Tentu saja, adalah kewajiban mereka untuk memilih beliau-beliau yang siap dan pantas dijadikan guru. Beliau tersebut hendaknya memenuhi persyaratan layak untuk menjadi orang yang akan mengarahkan seluruh arah hidupnya.
Oleh karena itu, orang memang harus memilih pendeta sebagai gurunya dengan sangat berhati-hati. Ia tidak akan memilih orang sebagai gurunya hanya karena pertimbangan tempat tinggal yang dekat sehigga tidak menyulitkan baginya untuk datang meminta bimbingan melainkan pertimbangan hendaknya atas kelayakan dan kemampuan untuk memberikan bimbingan serta arahan kepada dirinya. Walaupun yang bersangkutan tempat tinggalnya jauh tetapi ketika sang guru telah memenuhi kelayakan dan kemampuan daya bimbing maka jauh dekat hanyalah masalah istilah, ia hanya tinggal bahasa dan kalimat karena guru seperti itu telah ada bersama dirinya senantiasa. Dimana, kemanapun ia pergi dan dimana pun ia berada, gurunya juga berada di sana.
Seorang brāhmaṇa terpelajar dan telah berhasil didalam ke-brāhmaṇa-annya akan dengan pasti mampu membimbing varṇa-varṇa berikutnya seperti ksatriya, vaiśya (para pedagang, petani dan lain-lain) dan śūdra (para pekerja, pelayan,buruh, kuli dan lain-lain). Jika para ksatria tidak berguru kepada pendeta/orang bijaksana maka sangat dekat kemungkinan ia akan diarahkan oleh keakuan dan kelobaan sehingga sangat mungkin mereka dapat mengambil keputusan salah dengan mengutamakan kepentingan-kepentingan keakuan dan kelobaan, baik pribadi maupun kelompok dan akhirnya yang menjadi korban adalah rakyat, bangsa dan negara.
“Patireva guruh strīnām”, bagi para wanita berkeluarga suami adalah gurunya. Secara umum wanita berkeluarga hendaknya berguru kepada suaminya. Mendapat gelar suami (dari kata svāmi, yang berarti sang guru atau pengendali), suami dimaksudkan sebagai pengendali keluarga dan mengarahkan istrinya (dan anak-anaknya) ke jalan Tuhan yang Maha Esa.
Selain memberikan makan dan kebutuhan material istri dan anak-anak maka sang suami juga hendaknya memikirkan arah tujuan mereka agar tertuju pada tujuan yang benar yaitu tujuan pencapaian kasih Tuhan yang Maha Esa.
Walaupun pada kenyataan banyak kejadian justru terbalik, sang istrilah yang justru mempunyai kemampuan lebih untuk pemberi nafkah serta penunjuk jalan bagi suami dan anak-anak, dalam hal ini sama sekali tidak ada perbedaan. Istri dan suami adalah satu. Yang penting pengertian bijaksana hendaknya dijaga atara suami dan istri sehingga tidak akan ada perbedaan yang akan menjadi pemisah antara suami dan istri.
Secara umum, wanita/istri (atau suami) yang melepaskan diri dari tanggung jawab material, arahan dan bimbingan moral spiritual maka mereka pasti mengalami kejatuhan. Mereka akan diombang-ambingkan oleh segala kekacauan dan keinginan-keinginan duniawinya sehingga mereka akan menjadi orang yang tidak tentu arah dan menjauh dari arah jalan lurus menuju jalan Tuhan yang Maha Esa. Mereka akan terpaksa memakai segala kekalutan pikirannya sehingga ia akan menjadi kehilangan arah yang benar.
Akhirnya, tamu adalah guru bagi setiap orang, “sarvasyābhyagato guruḥ”. Pada umumnya kita mengabaikan tamu. Menganggap mereka sebagai gangguan dalam kenyamanan hidup keluarga kita. Bahkan, ada yang menganggap tamu adalah tidak berbeda dengan pengemis yang akan mengambil sesuatu dari kita. Kata abhyagataḥ berarti tamu. Kata lain yang lebih terkenal didalam bahasa Sanskerta adalah atithi.
Sesungguhnya dalam tradisi suci tamu adalah dewa bagi keluarga yang didatangi (Taittiriya Upaniṣad: atithi devo bhava). Tamu adalah pembawa berkah bagi mereka yang beruntung didatangi oleh tamu. Kebenarannya, tamu adalah juga pengambil segala jenis keburukan atau aib dari keluarga yang didatanginya. Semua itu bisa terjadi jika mereka menerima tamu dengan baik dan melayani tamu dengan baik, jik mereka menerima tamu sebagai Guru untuk memberikan arahan, bimbingan, rezeki dan perlindungan.
Jika tamu pulang ke rumahnya dengan senyum puas hati maka segala keburukan dan aib tuan rumah akan diambil oleh tamu tersebut dan mereka akan meninggalkan segala berkah serta rezeki. Sebaliknya jika tamu pulang kembali ke rumahnya dalam keadaan tidak puas, apalagi dalam keadaan sangat marah, maka sang tamu akan mengambil berbagai jenis kebaikan dari keluarga tuan rumah dan meninggalkan segala keburukan di rumah tersebut.
Demikian uraian ringkas mengenai salah satu ajaran tentang guru yang diajarkan oleh Maharesi Cāṇakya. Semua orang tidak terkecuali hendaknya berguru demi mendapatkan tuntunan dan perlindungan hidup. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Semoga semua mahluk berbahagia. Śāntiḥ